Minggu, 03 Maret 2013

Makalah Konsep Hukum



BAB I
PENDAHULUAN
     Sikap itu berpangkal pada suatu pikiran bahwa pada umumnya tiap-tiap orang dapat menimbang apa yang terbaik bagi kepentingannya, dan tiap-tiap orang juga harus mengetahui adakah ia menghendaki supaya kepentingannya dipertahankan atau tidak. Oleh karena itu dibutuhkan adanya pengetahuan dalam konsep-konsep hukum, subyek dan obyek hukum, hak dan kewajiban hukum serta norma-norma hukum yang sangat penting bagi kehidupan sosial bangsa negara sesuai dengan harapan untuk menumbuhkan masyarakat bangsa yang damai dan tentram dengan adanya badan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kepentingan-kepentingan khusus dan umum yang masih dipertahankan oleh pemerintah.














BAB II
PEMBAHASAN
A.  KONSEP HUKUM

1.      Konsep Hukum Hans Kelsen
Teorinya yang “murni” (the pure theory of law) bebas dari elemen-elemen asing pada kedua jenis teori tradisional, teori tersebut tidak tergantung pada pertimbangan-pertimbangan moralitas dan fakta-fakta aktual.
Menurut kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas disatu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan disisi yang lain.[1] Sedangkan hukum itu sendiri harus murni dari elemen-elemen asing yang tidak yuridis. Inilah prinsip metodologis dasarnya dari konsep Hans kelsen tentang konsep hukum murninya.
Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir[2] yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.[3] Kelsen memahami pure theory of law-nya sebagai teori kognisi[4] hukum, teori pengetahuan hukum. Ia berulang-ulang kali menulis bahwa satu-satunya tujuan pure theory of law adalah kognisi atau pengetahuan tentang objeknya. Tepatnya ditetapkan sebagai hukum itu sendiri.[5]
Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan, apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. Ia merupaka ilmu hukum (yurisprudensi), bukan politik hukum.[6]
Pure Theory of law adalah teori hukum positif, hanya teori hukum positif, dan bukan teori tentang sistem hukum tertentu. Pure Theory of Law adalah teori hukum umum, bukan penafsiran norma-norma hukum Negara tertentu atau hukum internasional.[7] Namun dia menyajikan teori penafsiran[8].[9] Positivisme hukum lahir karena tekanan yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau pertanggungjawaban. Dengan inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19 berusaha menjadikan hukum menjadi produk ilmiah. Itu berarti, hukum dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiyah. Untuk itu hukum harus mendapatkan pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.[10]
Bagi kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (formal), bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada diluar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.[11]

2.      Konsep Hukum John Austin
Ada dua konsep hukum dari john austin yang kami dapatkan dari berbagai buku, yaitu:
1.      Konsep hukum bahwa hukum memiliki dua dimensi hukum
2.      Konsep hukum bahwa hukum adalah sebagai komando (law is command of sovereign)
Dari dua konsep hukum yang dia jelaskan konsep hukum bahwa hukum adalah komando lebih banyak diperbincangkan dalam pembahasan-pembahasan pada referens.
John Austin, ahli filsafat hukum inggris, secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan dalam karyanya yang berjudul the province of jurisprudence determind (1832).[12]
1.      Dua Dimensi dari hukum
Menurut John Austin, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, demikian keyakinan Austin sebagaimana dikutip oleh Murphy dan Coleman, akan menimbulkan kekaburan baik intelek maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dalam hukum, yakni yurisprudensi analisis dan yurisprudensi normatif (Murphy & Coleman, 1990: 19-21; Ronald Dworkin, 1977:18-19).[13]
1.      Yurisprudensi analisis
Berkaitan dengan dimensi yang pertama, tugas filsuf hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum sebagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggung jawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya, adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalisis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.[14]
2.      Yurisprudensi normatif
Dalam buku yang sama dengan yang membahas yurisprudensi analisis dijelaskan bahwa yurisprudensi normatif berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok uang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib manaati hukum, manakah batas validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.[15]
2.      Hukum sebagai komando
Menurut John Austin dalam bukunya the province of jurisprudence determind,  hukum harus dipahami sebagai komando, karena semua hukum tidak lain merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando ( laws are commands). Hukum selalu berwatak komando.[16] Dengan melihat pernyataan itu kita bisa menarik garis besar dari konsep itu bahwa kata kunci yurisprudensinya adalah komando. Menurutnya hukum yang berlaku dimasyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, the supreme political authority atau pemilik otoritas polotik yang paling tinggi (sovereign dalam pandangan Austin).[17] Dalam pendapatnya, Austin memberikan Syarat sovereign agar bisa memegang otoritas tertinggi, yaitu:
1.    Pemegang otoritas haruslah seseorang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa terkecuali.
2.    Pemegang otoritas ini tidak patuh kepada siapapun (kekebalan hukum)

Dari syarat yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa pemegang otoritas tertinggi adalah seorang atau sekelompok yang menguasai secara mutlak, tidak berada dibawah penguasa lain.
Menurut Austin hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa dalam negara secara memaksakan, dan yang biasanya ditaati.[18] Dari pernyataan tersebut ada pendapat yang mengatakan tentang latar belakang konsepnya dipengaruhi hukum yang dilakukan oleh kaisar Justiniaus I. Seorang kaisar yang memerintah Romawi pada tahun 527-565 M. Dia terkenal karena mampu mensistematiskan hukum romawi kedalam dua tahap, yaitu: tahap Codex Iustinianum I (528 M) dan Codex Iustinianum II (534 M). Codex iustinianum ini menjadi cikal bakal dari berbagai kitab hukum. Berhubungan dengan konsep hukum, kaisar ini terkenal dengan ungkapannya,: “apa yang menyenangkan pangeran memiliki kekuatan hukum”.[19] Dari ungkapan tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan apa saja yang dikehendaki penguasa, dari gambaran singkat ini terlihat kesamaan arti tentang hukum adalah komando.
3.      Konsep Hukum Menurut H.L.A Hart
Konsep hukum hart yang dituangkan pada bukunya the concept of law, menjelaskan bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai sistem peraturan. Dengan pendapatnya bahwa hukum ternyata adalah suatu sistem peraturan maka bisa di simpulkan ada sedikit kesamaan antara konsep hukun John Austin, yaitu teori hukum murni yang memurnikan hukum dari anasir-anasir asing.
Melihat dari pernyataan Hart bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai suatu sistem peraturan, ia membagi dua dalam konsep hukumnya tentang peraturan itu, yaitu:
1.      Peraturan Primer
peraturan primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah laku yang membebankan berbagai kewajiban. Peraturan-peraturan primer menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang.[20] Aturan yang masuk dalam jenis ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari berbagai aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan masyarakat secara mayoritas.
2.      Peraturan Sekunder
Aturan-aturan sekunder adalah sekelompok aturan yang memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturan-aturan huhuk yang tergolong kedalam kelompok yang sebelumnya atau aturan-aturan primer. Aturan-aturan yang dapat digolongkan kedalam kelompok ini adalah aturan yang memuat prosedur bagi pengadopsian dan penerapan hukum primer. Berisi pemastian syarat-syarat bagi pelakunya kaidah-kaidah primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis kaidah kaidah-kaidah itu.[21]




B.   SUBJEK DAN OBJEK HUKUM

1.      Subyek hukum
Istilah subyek hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda  rechtssubyec. Kata subyect dalam bahasa Belanda dan Inggris berasal dari bahasa Latin subyectus yang artinya dibawah  kekuasaan orang lain (subordinasi).
Dalam bahasa Inggris, dikenal istilah person untuk menyebut sesuatu yang mempunyai hak. Menurut Pathon, istilah person berasal dari bahas Latin persona  yang ekuivalen dengan bahasa Yunani prosopan. Baik persona dan prosopan pada awalnya merujuk pada topeng yang dikenakan oleh pemain untuk menggambarkan suatu dewa  atau pahlawan dalam suatu drama. Barulah pada abad VI  Boethius  mendefinisikan persona diartikan sebagai sosok makhluk yang rasional.
  Pada perkembangannya, person diartikan sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban. Sebenernya lebih tepat istilah person dalam bahasa Inggris diadaptasi dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, istilah subyek hukum atau dalam bahasa Belanda  rechtssubyec sudah menjadi istilah yang baku dalam studi hukum Indonesia dan Belanda,kiranya istilah tersebut dapat dipertahankan.
subyek hukum atau person dalam bahasa Inggris merupakan suatu bentukan hukum artinya keberadaannya diciptakan oleh hukum. Salmon mengatakan atau mengemukakan bahwa baik manusia atau bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum. Pada masa sekarang manusia merupakan subjek hukum, manusia merupakan subjek hukum selama ia masih hidup, yaitu sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia.
Bahkan dalam sistem civil law dikenal ungkapan (maxim) “nasciturus pro iam nato habetur” yang artinya anak yang belum dilahirkan yang masih dalam kandungan dianggap telah dilahirkan apabila kepentingannya memerlukan. Maxim demikian tertuang di dalam Pasal 2 BW yang menetapkan bahwa “ Anak dalam kandungan seorang wanita dianggap telah lahir, setiap kali kepentingannya menghendakinya. Bila telah meninggal waktu dilahirkan, dia dianggap tida pernah ada”. Pada saat ini, terdapat persamaan nilai yang fundamental bagi semua orang sehingga tidak boleh adanya  perlakuan  yang  berbeda  atas jenis kelamin, ras, kepercayaan, dan status sosial[22].
Pada dasarnya yang menjadi  subyek hukum adalah manusia/orang atau person.  Dalam pengertian manusia atau person sebagai subyek hukum  ada dua pengertian.
a.       Natuurlijk  person  adalah menspersoon,  yang disebut orang atau manusia pribadi dan
b.      Rechtsperson adalah  yang berbentuk badan hukum yang dapat dibagi dalam :
1)      Publik rechts-person, yang sifatnya ada unsur kepentingan umum seperti  Negara, Daerah Tk. I, Tk. II, desa,  dll.
2)      Privaat rechtsperson atau badan hukum privat, yang mempunyai sifat atau adanya unsur kepentingan individual.

1.       Manusia Sebagai Subyek Hukum
Setiap manusia mempunyai wewenang hukum,akan tetapi ia belum tentu cakap hukum. Seseorang bisa dikatakan cakap hukum,apabila ia telah dianggap cukup cakap untuk mempertanggung jawabkan sendiri atas segala tindakan-tindakannya. Contohnya,seorang yang sudah dewasa normal berarti  “cakap hukum”. Seseorang yang sudah dewasa apabila ia gila, di letakkan di bawah pengampuan,anak-anak  “tidak cakap hukum”. Di antara subyek hukum tidak hanya manusia yang menjadi subyek hukum melainkan terdapat subyek hukum selain manusia yaitu “Badan Hukum”.
2.       Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum

     Adapun yang di maksud  dengan badan hukum (rechtspeersoon) adalah suatu perkumpulan orang-orang yang dapat menanggung hak dan kewajiban yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan oleh hukum.  
Di antara syarat-syarat badan hukum yang telah di tentukan oleh hukum yaitu :
a.       Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya
b.      Hak dan kewajiban badan hukum terlepas dari hak dan kewajiban para anggota-anggotanya.
Dasar-dasar hukum sebagai badan hukum meliputi :
a.       Perseroan terbatas(PT) di atur dalam bab III bagian ketiga buku I KUHD (WvK)
b.      Koperasi, di atur dalam undang-undang No. 25 Tahun 1992
c.       Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang di buat aktenya di notaris.
d.      Perbankan, diatur dalam Undang-undang No. 7  Tahun 1992
e.       Bank Pemerintah, sesuai dengan Undang-undang yang mengatur pendiriannya
f.       Organisasi Partai Politik dan Golongan Karya diatur dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1975 (telah diubah No. 3 Tahun 1985)
g.      Pemerintah Daerah Tingkat I,II dan Kecamatan diatur dengan Undang-undang No. 5 tahun 1974
h.      Negara Indonesia diatur dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945[23].
3.       Macam-Macam Badan Hukum
Dilihat dari bentuknya badan hukum terbagi menjadi dua:
1.      Badan hukum publik  (public rechtspersoon)
Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum  publik yang menyangkut kepentingan publik, orang banyak atau negara pada umumnya. Badan hukum publik ini merupakan badan hukum negara yang mempunyai kekuasaan  wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa.

          Diantara badan hukum publik adalah negara dan bagian-bagiannya seperti pemerintah daerah (pemda), pertamina, kota, BI, dll.:
2.      Badan hukum privat  (privat recthspersoon )
Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan oleh berdasarkan hukum perdata ya ng menyangkut kepentingan pribadi didalam badan hukum tersebut.  Badan hukum privat ini didirikan untuk mencari keuntungan dan  untuk tujuan sosial  dengan tujuan yang  tidak materialistis. Badan hukum yang bertujuan mencari keuntungan seperti: perseroan terbatas (PT), koperasi, partai politik, dll.

          Sedangkan badan hukum yang bertujuan tidak mencari keuntungan adalah seperti: Yayasan, taman pendidikan dan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan, dll. Apabila yayasan digunakan untuk mencari keuntungan, maka hal ini merupakan penyalagunaan status yayasan.[24]

       Adapun yang berkenaan dalam badan hukum adalah teori-teori  badan hukum, dan dalam teori ini akan dibagi sebagai berikut :
a.       Teori Fictie
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fictie, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakuikan perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini dikemukaan oleh von Savigny dan diikuti juga oleh Houwing.
b.      Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogenstheorie)
     Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun, kata teori ini, ada kekayaan (vermogen)yang bukan merupakan kekayaan seseorang, melainkan kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukuym. Teori ini diajarkan oleh A.Brinz dan diikuti oleh Van der Heijden.
c.       Teori Organ dari otto van Gierke
     Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Akan tetapi, badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat- alat yang ada padanya(pengurus dan anggotanya) seperti manusia biasa yang mempunyai pancaindra dan sebagainya. Pengikut teori organ ini, antara lain Polano.
d.      Teori Propriete Collectief
    Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama-sama anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum adalah suatu konstruksi yang yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut- pengikut ajaran ini.
e.       Teori kenyataan Yuridis (juridisdhe Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realieit, konkret,dan riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukaan oleh Mejers ini menekan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja. [25]
2.      Objek Hukum
Obyek hukum adalah “segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi obyek dalam suatu hubungan hukum”. Menurut terminologi ilmu hukum, obyek hukum disebut pula “benda atau barang”, sedangkan “benda atau barang” menurut hukum adalah “segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomois”.[26] Dan dibedakan atas berikut ini.
1.      Benda berwujud dan benda tidak berwujud (pasal 503 KUHP Perdata)
a.       Benda yang berwujud yaitu segala sesuatu yang dapat dicapai dilihat dan diraba oleh panca indra. Contohnya rumah, meja, kuda, pohon, dan sebagainya.
b.      Benda tidak berwujud, yaitu segala sesuatu yang tidak berwujud, berupa segala macam hak yang melekat pada suatu benda. Contoh, hak cipta, hak atas merek, hak atas tanah, dan sebagainya.
2.      Benda bergerak dan benda tidak bergerak (pasal 504 KUHP Perdata)
a.       Benda bergerak, yaitu setiap benda yang bergerak, karena:
1)      Sifatnya dapat bergerak sendiri, seperti hewan.
2)      Dapat dipindahkan, seperti kursi, meja, dan sebagainya.
3)      Benda bergerak karena penetapan atau ketentuan undang-undang, yaitu hak pakai atas tanah dan rumah, hak sero, hak bunga yang dijanjikan, dan sebagainya.
b.      Benda tidak bergerak, yaitu setiap benda yang tidak dapat bergerak sendiri atau tidak dapat dipindahkan, karena:
1)      Sifatnya yang tidak bergerak, seperti gunung,kebun, dan apa-apa yang didirikan di atas tanah,termasuk apa yang terkandung di dalamnya.
2)      Menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan dengan benda yang karena sifatnya tidak bergerak, seperti watafel di kamar mandi tegel, alat percetakan yang ditempatkan di gudang.
3)      Penetapan undang-undang, yaitu hak atas benda tidak bergerak dan kapal yang tonasenya/beratnya 20 M3.

C.   HAK DAN KEWAJIBAN
hak adalah seperangkat kewenangan yang diperoleh seseorang baik berupa hak yang melekat sejak ia lahir sampai meninggalnya yang biasa disebut hak asasi manusia maupun yang muncul ketika melakukan interaksi sosial  sebagai dengan sesamanya. Sebaliknya, kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya baik kewajiban sebagai hamba yang dibebankan oleh penciptanya (Allah SWT) maupun kewajiban yang muncul ketika melakukan interaksi dengan sesama. Oleh karena itu, kehadiran hukaum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan  dan mengkordinasikan kebutuhan manusia baik dari penciptanya maupun kepentingan manusia dalam masyarakat.
hukum melindungi kepentingan seseorang melalui cara mengalokasikan suatu kewenangan atau kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kebutuhannya.oleh karena itu, tidak setiap kewenangan dalam masyarakat itu dapat disebut hak, melainkan hanya kewenangan tertentu saja, yaitu yang diberkan huk um kepadanya.[27]
Izin atau kekuasaan [28] yang diberikan hukum itu disebut “Hak” atau “wewenang.”jadi pemilik benda itu berhak untuk mengasingkan benda tersebut. Namun dalam pembahsan ini, tidak terlalu teerfokus pada pengertian, karena dari pengertian hak secara detail sudah dibahas pada makalah sebelumnya.
Hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat berkaitan, yaitu hak mencerminkan adanya  kewajiban dan sebaliknya  kewajiban mencerminkan hak. Sebagai contoh, si ahmad mempunyai suatu kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan yang ditujukan kepada si akram. Hal ini berarti si ahmad telah melakukan kewajibannya. Sebalikanya, adanya kewajiban si ahmad kepada si akram, maka si ahmad mempunyai hak kepada si akram, yaitu berupa tuntutan untuk melaksanakan kewajibannya.
Contoh di atas, dapat diasumsikan bahwa suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga ada pengakuan terhadapnya. Lain halnya, bila burung maleo di Sulawesi tengah kehidupannya dilindungi oleh hukum, berarti burung tersebut mempunyai hak untuk menikmati perlindungan hukum. Sebaliknya tidak berarti burung tersebut mempunyai kewajiban kepada pemerintah daerah Sulawesi tengah.
 Dalam hukum perdata dan perundang-undangan menbagi hak keperdataan dalam dua hal, yaitu:hak mutlak dan hak nisbi.[29]
A.    Hak yang Hak mutlak(Absolut)
Hak mutlak adalah suatu hak yang berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang. artinya, hak ayang memberikan wewenang kepada seseorang adalah untuk melakukan perbuatan , hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang juga harus menghormati hak tersebut.[30] hak mutlak disini memuat kekuasaan untuk bertindak. Hak itu juga disebut hak onpersoonlijk, sehingga dapat dilakukan oleh setiap orang dan tidak hanya terhadap orang-orang tertentu. Dibalik kekuasaan seseorang bertindak ini, terdapat kewajiban dari tiap-tiap oarng untuk tidak melanggar hak ini. Yang termasuk hak mutlak antara lain,
1.      Hak-hak  kepribadian(persoonlijk heids rechten)
Hak-hak  kepribadian (persoonlijk heids rechten) adalah hak asasi manusia atas dirinya sendiri. Hak-hak yang dimaksud yang paling terpenting di aantaranya adalah hak asasi manusia atas dirinya(pasal 1406 KUH Perdata), raganya (pasal 1407 KUH Perdata), kehormatan (pasal 1408 KUH Perdata), dan nama keluarganya. Demikian juga termasuk hak dari pengarang suatu gubahan kesusteraan, ilmu pengetahuan  teknologi, budaya dan seni.
2. Hak-hak keluarga (familierechten)
Hak-hak keluarga (familierechten) adalah hak-hak yang muncul dari hubungan keluarga,terutama kekuasaan atas adanya hubungan ikatan perkawinan, yaitu kekuasaan suami atas istrinya (pasal 160 dan 195 KUH Perdata), kekuasaan orang tua, perwalian  dan pengampuhan.
3. Hak mutlak atas sesuatu benda atau hak kebendan 
Hak mutlak atas sesuatu benda atau hak kebendan adalah suatu hak yang diberikan kepada seseorang yang memeberikan kekuasaan lansung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang.
a.       Hak relative
       Adalah hak yang hanya dipertahankan pada terhaadap(hak suatu tuntutan/penagihan terhadap seseorang).hak relative terbagi dalam 3 (Tiga) kategori, yaitu hak publik relatif, hak keluarga relatif, dan hak kekayaan relatif.
      (1). Hak publik relative adalah hak yang diberikan Negara uantuk melakukan esuatu. Contohnya, hak untuk menghukum kepada seseorang yang meninggal dunia melanggar undang-undang pidana, memungut pajak, bead an cukai.
      (2). Hak keluarga relatif adalah hak yang diperoleh dari orang yang sudah meninggal dunia. Maksudnya, orang yang meninggal dunia meninggalkan harta atau sejumlah hak lainnya dapat beralih kepada ahli waris yang berhak
      (3). Hak kekayaan relatif adalah hak perutangan yang muncul dari adanya utang piutang. Hak itu dapat dilakukan tagihan kepada yang berutang atau hak itu digunakan untuk membebaskan dari tagihan kepada orang yang berutang (dihapuskan hutangnya).
       Adapun hak apabila dikaji dari aspel ruang lingkupnya,[31] dapat dikelompokan sebagaiberikut:        
        (1). Hak - hak yang sempurna dan tidak sempurna. Yang sempurna adalah dapat dilaksanakan melalui proses hukum, sedangkan yang tidak sempurna adalah hak yang diakui oleh hukum,tetapi tidak selalu dilaksanakan oleh pengadilan, seperti hak yang dibatasi oleh lembaga daluwarsa.
       (2). Hak utama dan hak tambahan. Hak utama adalah ha yang diperluas oleh hak-hak lain:sedangkan hak ttambahan adalah yang yang melengkapi hak-hak utama. Contoh, perjanjian hak sewa-menyewa kendaraan yang memberikan hak tambahan kepada hak utama dari pemilik kendaraan.
       (3). Hak public dan hak perdata. Hak publik adalah hak yang pada masyarakat pada umumnya, yaitu Negara, sedangkan hak perdata adalah hak yang ada pada perorangan, seperti hak seseorang untuk menikmati barang yang dimilikinya.
       (4). Hak positif  dan hak negative. Hak positif menuntut perbuatan positif dari pihak tempat  setiap kewajiban korelasinya berada, seperti hak untuk menerima keuntungan pribadi, sedangkan hak negative adalah hak untuk melakukan sesuatu tetapi mengganggu orang lain.
        (5). Hak milik dan hak pribadi. Hak milik berhubungan dengan barang-barang yang dimilik seseorang yang biasanya dapat dialihkan,sedangkan hak pribadi berhubungan dengan kedudukan seseorang yang tidak dapat dialihkan.
        Selain pengelompokan hak di atas, perlu juga pengelompokan kewajiban, yaitu:
        (1). Kewajiban yang mutlak damn nisbi. Apabila memperhatikan definisi hak dan kewajiban yang telah dikemukakan, dapat disebutkan bahwa tidak setiap kewajiban mempunyai pasangan hak. Kewajiban ini disebut kewajiban mutlak yang melekat pada manusia berdasarkan status yang dimilikinya. Misalnya, kewajiban orang muslim ketika balligh melakukan shalat lima waktu. Beda halnya dengan kewajiban nisbi, yaitu kewajiban yang melibatkan hak dilain pihak.
       (2). Kewajiban public dan perdata.kewajiban public adalah kewajiban berkorelasi dari hak-hak public. Contoh, kewajiban mematuhi hukum pidana;sedangkan kewajiban perdata berkorelasi dari hak-hak keperdataan. Contoh, kewajiban yang timbul dari transaksi kontra sewa-menyewa.
       (3). Kewajiban positif dan negative. Kewajiban positif menghendaki dilakukannya perbuatan positif. Contoh, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Sedangkan kewajiban negative menghendaki seseorang tidak melakukan sesuatu atau biasa disebut larangan. Misalnya, kewajiban tidak menyusah tetangganya.
       (4). Kewajiban universal, umum dan khusus. Kewajiban universal ditujukan kepada setiap warga Negara. Contohnya, kewajiban yang timbul dari adanya undang-undang, sedangkan kewajiban umum ditujukan kepada orang yang tertentu, seperti kewajiban ayah dan ibu untuk memelihara anaknya. Lain halnya dengan kewajiban khusus, kewajiban yang timbul dari hukum perjanjian.
       (5). Kewajiban primer dan kewajiban yang bersifat member sanksi. Kewajiban primer adalah kewajiban yang tidak timbul dari perbuatan yang tidak melanggar hukum. Contoh, untuk tidak mecemarkan nama baik seseorang, yang tidak timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban sebelumnya. Dan kewajiban bersifat memberi sanksi, yaitu kewajiban yang semata-mata timbul dari perbuatan yang melawan hukum.  Seperti, kewajiban tergugat untuk membayar gugatan penggugat yang berhasil memenangkan perkara melalui siding pengadilan.   
        
D.  NORMA-NORMA

Hukum secara umum dipandang sebagai norma, yakni norma yang mengandung nilai-nilai tertentu. Nanum, hukum tidak terbatas dalam pengertian sebagai norma, itu berarti hukum tidak tidak selueuhnya identik dengan norma.
Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku, dengan begitu norma hukum hanyalah sebagian sekian banyak pedoman tingkah laku.[32] Diluar norma hukum, terdapat norma lain. purbacaraka dan soekanto menyebutkan ada empat norma, yaotu norma kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataanya belum dapat memberikan perlindungan yang memuaskan, sehingga diperlukan norma keempat, yaitu norma hukum. Perlindungan yang diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanaan, pada prinsipnya erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu.[33]
Hukum menitik beratkan kepada pengaturan askpek manusia sebagai makhuk sosial dan aspek lahiriah manusia. Dilihat dari segi tujuannya, norma hukum diadakan dalam rangka mempertahankan bentuk kehidupan masyarakat sebagai moodus survifal.
1.      Norma kepercayaan/agama
Apabila hukum menitikberatkan pengaturan kepada aspek manusia sebagai makhluk sosial dan aspek lahiriah manusia, tidak demikian dengan norma agama. Norma agama bersangkut paut dengan aspek manusia sebagai makhluk individu dan aspek batiniah manusia.norma ini mengatue=r antara individu manusia sebagai suatu ciptaan dengan sang khalik sebagai pencipta. Agama ada dalam rangka memelihara rohani manusia secara pribadi agara berkenan kepada yang maha kuasa, manusia harus menjauhi larangan dan melakukan perintah yang ditetapkan oleh yang maha kuasa  melalui kitab sucu masing-masing agama. Ketaatan terhadap norma agama terbentuk karena iman, oleh karena itu tanpa adanya  iman idak mungkin ada ketaatan, bahkan norma agama itu sendiri tidak ada.[34]
2.       Norma kesusilaan/moral
Sebagaimana norma agama, moral hadir sebagai petunjuk bagi individu. Sebagai produk budaya yang melekat pada diri manusia, moral menghendaki manusia berbudi pekerti luhur dan berbuat kebajikan. Dalam hal demikian, secara jelas moral dapat dibedakan dari hukum. Hukum tidak pernah menuntut orang berbuat kebajikan  atau dermawan.
Sebagai contoh tentang hukum tidak pernah menuntut orang untuk berbuat kebajikan atau dermawan, merupakan kejanggalan dan bertentangan dengan eksistensi hukum itu sendiri manakala ada ketentuan hukum yang mewajibkan orang-orang yang mempunyai kualifikasi tertentu untuk mendonorkan salah satu matanya bagi pemimpin yang buta atas dasar mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan bangsa. Tentu saja tidak akan sebuah hukum akan menetapkan peraturan seperti itu. Moral mungkin saja mendorong individu untuk mendonorkan matanya kepada penguasaanya yang buta, yang dengan berbuat demikian si donatur mata tersebut telah berkorban bagi bangsanya.
3.      Norma Etika Tingkah Laku/Sopansantun
Jika agama dan moral lebih menitikberatkan kepada aspek manusia sebagai individu dan aspek batiniah manusia, etika tingkah laku sebagaimana hukum menitik beratkan kepada pengaturan aspek manusia sebagai makhluk sosial dan aspek lahiriah manusia. Namun demikian antara hukum dan etika tingkah laku terdapat juga perbedaan.
Aturan tingkah laku adalah aturan-aturan tidak tertulis yang dikembangkan oleh suatu komunitas tertentu mengenai bagaimana seharusnya anggota-anggotanya komunitas untuk bertingkah laku. Sebagaimana hukum, etika tingkah laku diadakan dalam rangka pengaturan aspek manusia sebagai mahkluk sosial dan aspek lahiriah manusia. Norma ini hanya mengikat pada kkomunitas itu sendiri, sehingga norma ini tidak dilaksanakan oleh negara. Pelanggaran dari norma kesopanan ini akan mendapat sanksi dari komunitasnya yang berupa celaan, cemoohan, pengucilan, bahkan mungkin pemboikotan.
4.      Norma Hukum
Norma hukum ialah peraturan yang dibuat oleh negara dan berlakunya dipertahankan dengan paksaan oleh alat-alat negara seperti, polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya.[35] Tanpa adanya norma hukum, norma yang lainnya tidak akan efektif. Sifat norma hukum yang tidak dimiliki oleh norma hukum yang lain adalah sifatnya yang memaksa dan memiliki sanksi yang tegas dalam bentuk hukuman. Norma hukum bersifat lahiriah tidak bersifat batiniah, artinya kondisi batin seseorang tidak akan dikenai tindakan hukum. Sebagai contoh seorang yang mempunyai angan-angan memiliki jabatan dari posisi bosnya, dia menginginkan untuk membunuhnya untuk mendapatkan posisi itu, selama tindakan lahiriah yaitu membunuh belum dilakukan, maka hukum belum berlaku untuk mengfonis bahwa dia bersalah, sekalipun batinnya menginginkan membunuhnya.
Selain hukum itu memaksa dan tidak bersifat batiniah, dalam hukum ada istilah hak, hak ini tidak dimiliki oleh norma-norma lainnya. Sedangkan norma-norma yang lainnya mempunyai sifat sebagai tempatnya kewajiban-kewajiban.




















  BAB IV
PENUTUP
   Alhamdulillahirobbilalamin atas segala hidayah dan anugrahnya yang dilimpahkan kepada kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini  dengan baik dan sungguh-sungguh, dengan ini kami dapat menyimpulkan pembahasan yang kami paparkan dalam makalah ini, bahwa setiap manusia yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan rakyat yang bertanggung jawab di dalam negara pasti membutuhkan adanya konsep-konsep hukum yang telah ditetapkan oleh yang berkewajiban.









[1] MKN-UNSRI: Teori Hukum Murni (The Pure Theory Of Law), http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/03/teori-hukum-murni-pure-theory-of-law.html, diakses tanggal 21 november 2011
[2] Anasir adalah element, unsur, faktor, dasar.
[3] Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., pokok-pokok filsafat hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 115.
[4] Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi.(wikipedia).
[5] Hans Kelsen, pengantar teori hokum, penerjemah: Siwi Purwadi, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 3.
[6] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, penerjemah: Raisul Muttaqin, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 1.
[7] Hans Kelsen, pengantar teori hokum, penerjemah: Siwi Purwadi, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 37.
[8] Penafsiran: otentik, gramatikal, teologis
[9] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, penerjemah: Raisul Muttaqin, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 1
[10] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hal 66
[11] Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., pokok-pokok filsafat hokum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 115.
[12] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal 68.
[13] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal 68.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] ibid
[17] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november
[18] Theo huijbers, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hal 187
[19] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november
[20] Theo huijbers, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hal 187
[21] Ibid.
[22] Prof.Dr.Peter Mahmud Marzuki, SH.,MS.,LL.M.”Pengantar Ilmu Hukum”.Jakarta:Kencana Perdana Media Group.hlm.241-242
[23] .R. Soeroso, S.H.”pengantar ilmu hukum”.Jakarta. sinar grafika.hlm.238.
[24].Prof.Dr. Peter Mahmud Marzuki,SH.,MS.,LL.M.”pengantar ilmu hukum”.jakarta.kencana prenada media group.hlm.243.
[25]. Pipin Syarifin,S.H.”pengantar ilmu hukum”.Bandung.CV.Pustaka setia.hlm.63.
[26] Dr. Marwan mas, SH., MH. Pengantar ilmu hukum, yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2011, hal 26-27.
[27] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Filsafat hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Hal 27
[28] Drs. C.S.T. kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal 120
[29] Titik triwulan tuti, S.H., M.Hum, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, jakarta: Kencana, 2001, hal 153.
[30] Drs. C.S.T. kansil, S.H, op cit hal 120.
[31] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, op cit Hal 28
[32] Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., pokok-pokok filsafat hokum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 13.
[33] Ibid.
[34] Prof.Dr.Peter Mahmud Marzuki, SH.,MS.,LL.M.”Pengantar Ilmu Hukum”.Jakarta:Kencana Perdana Media Group.hal
[35]Budi Ruhiatudin, Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakart: Teras, 2009, hlm 11